Kamis, 26 Februari 2009

RJP

Langkah-langkah sebelum melakukan RJP:

sebelum kita melakukan RJP pada penderita kita harus :


  1. Pastikan bahwa penderita tidak sadar

  2. Pastikan bahwa penderita tidak bernapas
  3. Pastikan bahwa nadi tidak teraba



Untuk penderita yang tidak sadar, cari denyutan nadi karotis :
  1. Letakkan dua jari di atas laring (jakun),
  2. jangan gunakan ibu jari.
  3. Geserkan jari penolong ke samping.
  4. Hentikan di sela-sela antara laring dan otot leher.

  5. Rasakan nadi. Tekan selama 5-10 detik,

  6. hindari penekanan yang terlalu keras pada arteri.
RJP untuk orang dewasa
RJP dengan satu penolong pada orang dewasa
  1. Lakukan penekanan dada dengan perbandingan 2 x tiupan diikuti 30 x penekanan dada.

  2. Buka jalan nafas, kemudian berikan 2 tiupan yang masing2 waktunya 1,5 sampai 2 detik. Pastikan kita menarik nafas yang dalam sebelum memberikan tiupan nafas.

  3. Lanjutkan sampai 4 kali putaran dari 15 tekanan dan 2 ventilasi.
RJP dengan 2 penolong pada orang dewasa.
  1. Penderita harus lurus dan terlentang, pada permukaan yang datar & padat.
  2. Jika memakai baju buka bajunya sehingga kita dapat melihat tulang dadanya.
  3. Penolong pertama berlutut pada ujung kepala penderita.
  4. Penolong kedua berlutut pada sisi kanan dada penderita.
Lalu lakukan penekanan dada :




Lokasi penekanan pada area, dua jari di atas proxesus xifoideus.Penekanan dilakukan dengan menggunakan pangkal telapak tangan. Dengan posisi satu tangan diatas tangan yang lain.

Cara melakukan penekanan dada :
  1. Tekanan pada tulang dada dilakukan sedemikian rupa sehingga masuk 3-4 cm (pada orang dewasa).
  2. Jaga lengan penolong agar tetap lurus, sehingga yang menekan adalah bahu (atau lebih tepat tubuh bagian atas) dan bukan tangan atau siku.
  3. Pastikan tekanan lurus ke bawah pada tulang dada karena jika tidak, tubuh dapat tergelincir dan tekanan untuk mendorong akan hilang.
  4. Gunakan berat badan saat kita berikan tekanan.
  5. Dorongan yang terlalu besar akan mematahkan tulang dada
  6. Waktu untuk menekan dan waktu untuk melepas harus sama waktunya.
  7. Jangan melepaskan tangan dari atas dada penderita.

  8. Ingat bahwa tekanan yang efektif dilakukan hanya akan mencapai 25%-30% dari sirkulasi darah normal.
Hitungan saat melakukan penekanan sebanyak 15 kali dengan tidak terlalu cepat, karena satu kali penekanan harus menggunakan waktu kurang dari detik. Setelah penekanan seperti diatas lakukan 2 kali tiupan masing-masing selama 1,5 sampai 2 detik. Untuk lebih jelasnya bisa klik link

Pemantauan

Pemantauan merupakan tanggungjawab penolong yang melakukan tiupan (ventilasi). Setelah satu menit melakukan RJP, periksa nadi penderita. Periksa 3 sampai 5 detik pada arteri karotis.
  1. Bila nadi tdk teraba dan pernapasan tidak ada teruskan RJP
  2. Bila nadi teraba,pernapasan tidak ada berikan pernapasan buatan.
  3. Bila nadi teraba dan penderita bernapas adekuat, hentikan RJP, pantau pernapasan dan nadi penderita.
Ringkasan RJP pada orang dewasa:

  1. Dalamnya kompresi 3-5 m, laju penekanan dada 80-100 kali per menit.
  2. Lama ventilasi : 1,5-2 detik

  3. Lokasi mencari nadi : arteri karotis

  4. RJP sendiri : 30 penekanan– 2 tiupan
  5. RJP berdua : 30 penekanan-2 tiupan

Tanda-tanda keberhasilan RJP:

  1. Dada harus naik dan turun dengan setiap tiupan (ventilasi).

  2. Pupil bereaksi atau tampak berubah normal (pupil harus mengecil saat diberikan cahaya).

  3. Denyut jantung kembali terdengar

  4. Reflek pernapasan spontan dapat terlihat

  5. Kulit penderita pucat berkurang atau kembali normal.

  6. Penderita dapat menggerakkan tangan atau kakinya

  7. Penderita berusaha untuk menelanPenderita menggeliat atau memberontak

Sabtu, 14 Februari 2009

skenario blok IX


Endocrine, metabolic disorder and nutrition

Endocrinological disorders
IDDM 1 2 3A 3B 4
NIDDM 1 2 3A 3B 4
Complication of DM (acute and chronic) 1 2 3A 3B 4
Hypoglycemia 1 2 3A 3B 4
Diabetes incipidus 1 2 3A 3B 4
Acromegaly, gigantism 1 2 3A 3B 4
Growth hormone deficiency 1 2 3A 3B 4
Hyperparathyroidism 1 2 3A 3B 4
Hypoparathyroidism 1 2 3A 3B 4
Hyperthyroidism 1 2 3A 3B 4
Hypothyroidism 1 2 3A 3B 4
Thyroiditis ` 1 2 3A 3B 4
Cushing's disease 1 2 3A 3B 4
Adrenal cortex failure 1 2 3A 3B 4
Primary hyperaldosteroidism 1 2 3A 3B 4
Phaeochromocytoma 1 2 3A 3B 4
Precocious puberty 1 2 3A 3B 4
Testicular feminization syndrome 1 2 3A 3B 4
Hypogonadism 1 2 3A 3B 4
Adrenogenital syndrome 1 2 3A 3B 4
Addison's disease 1 2 3A 3B 4
Multiple endocrinological neoplasia (men
syndrome) 1 2 3A 3B 4
Tumor with ectopic production of hormone 1 2 3A 3B 4

Nutritional deficiency
Marasmus 1 2 3A 3B 4
Kwashiorkor 1 2 3A 3B 4
Vitamin deficiencies 1 2 3A 3B 4

Error of metabolism
Hyperlipoproteinemia 1 2 3A 3B 4
Porphyria 1 2 3A 3B 4
Gout 1 2 3A 3B 4
Obesity 1 2 3A 3B 4

Tidak sadar
1. Dehidrasi
2. Hipoglikemi
3. Hipovolemik
4. Hipertensi
5. Stroke

Mekanisme tidak sadar
Asidosis (ketosis)-->diuresis osmosis-->hipovolemik-->dehidrasi-->hantaran glukosa dan oksigen ke otak menurun-->penurunan kesadaran-->tidak sadar.

Panas tinggi
1. Infeksi
2. Heat stroke/Exercise

Mekanisme panas tinggi karena infeksi
Pirogen endogen-->sitokin (IL-1,IL-6, TNF) -->aliran darah -->hipotalamus -->PGE2-->meningkatkan setpoint(mengubah termoregulator)-->peningkatan suhu tubuh-->demam


Poliuria
1. Hipotermi
2. Stress (nervous)
3. Hiperglikemia
4. Hiperkalemia
5. Gagal ginjal
6. Banyak minum
7. Penurunan ADH (pengaruh obat deuresis)

Mekanisme poliuria karena hiperglikemia
Hiperglikemia-->nilai ambang reabsobsi glukosa 180mg/dlàGD melebihi nilai ambang-->glukosa dikeluarkan bersama urin-->poliuria

Hiperglikemiaàglukosuriaàurin reduksi +
Polidipsi
1. Dehidrasi
2. Hipertermi
3. Hipernatremia
4. Penurunan ADH (DI)
5. Gagal ginjal

Mekanisme polidipsi
Poliuriaàkompensasiàperpindahan CIS ke CESàpolidipsi
Polipagia
1. Stress
2. Metabolisme meningkat (hipertiroid)
3. Hipoglikemi
4. Hiperglikemia pada DM
5. Neoplasia pada hipotalamus (lateralàpusat makan)

Mekanisme polifagia pada hiperglikemia pada DM
Hiperglikemia-->glukosa tidak bisa masuk ke dalam sel karena gangguan insulin-->sel kekurangan glukosa untuk metabolisme-->meransang pusat lapar di hipotalamus-->polifagia

Kaki bengkak dan bernanah
1. Infeksi (selulitis, gangrene, ulkus,osteomielitis, osteonecrosis dll)
2. Gangguan pembuluh darah (emboli, trombosis, hematom, dll)
3. Gangguan impuls saraf (neuropati diabetik,dll)

Mekanisme kaki bengkak karena komplikasi makrovaskular
Gangguan pembuluh darah (tersumbat)karena akumulasi lemak-->aliran darah ke perifer berkurang bahkan tidak ada-->jaringan hipoksia-->kematian jaringan
Apabila luka-->alfa globulin tidak bisa mencapai tempat luka karena gangguan pembuluh darah-->luka sukar sembuh

Nadi meningkat
1. Stress
2. Metabolisme meningkat (hipertiroid, exercise, demam, dll)
3. Hipoxia
4. Penyakit jantung (aterosklerosis)

Mekanisme nadi meningkat
RR meningkat
1. Hipertermia (demam, exercise)
2. Hipoksia
3. Penyakit jantung
4. Peningkatan keton (KAD)
5. Asma
6. Kelainan paru-paru

Mekanisme RR meningkat karena peningkatan keton
Glukoneogenesis, lipolisis-->peningkatan asam lemak serum-->sisa akhir metabolisme lemak-->keton (asam kuat dg pH 4,7)-->asidosis metabolik-->kompensasi-->tubuh berusaha mengeluarkan benda keton dari tubuh (aseton)-->salah satunya dikeluarkan melalui nafas-->nafas cepat dan dalam (kusmaull)-->RR meningkat
Benda keton meningkat-->dikeluarkan melalui urin (beta hidroksi butirat)-->ketonuria

Jantung takikardi
1. Hipoksia
2. Penyakit jantung
3. Hipotensi
4. Gangguan pembuluh darah (aterosklerosis)
5. Metabolisme meningkat

Mekanisme takikardi karena hipotensi
Hipotensi-->aliran darah berkurang-->jantung melakukan kompensasi dengan meningkatkan kerja jantung-->stroke volume meningkat-->cardiac output meningkat-->takikardi

Gula darah meningkat
1. Penurunan insulin (DM tipe I)
2. Resistensi insulin ( DM tipe II)
3. Peningkatan hormon kontra regulator insulin (katekolamin, glukagon)
4. Peningkatan hormon cortisol (cushing syndrome)
5. Peningkatan GH
6. IGF menurun (tumor hipofisis)

Mekanisme GD meningkat
Gangguan insulin dan peningkatan hormon kontraregulator-->ambilan glukosa oleh sel menurun-->kadar GD meningkat (hiperglikemia)

Leukosit meningkat
1. Infeksi
2. Leukemia
3. Autoimun

Mekanisme leukositosis karena infeksi
Infeksi-->deteksi antigen-->respon imun tubuh (peningkatan polimorfonuklear {netrofil,eusinofil,basofil})-->untuk memfagosit antigen-->leukosit meningkat

DIABETES MELITUS

1. DEFENISI
Suatu kelompok penyakit metabolik dengan karekteristik hiperglikemi oleh karena kelainan sekresi insulin, resistensi insulin atau keduanya.

2. ETIOLOGI
a. Tipe I
Dekstruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut
· Autoimun
· Idiopatik

b. Tipe II
Bervariasi mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai dengan defisiensi insulin sampai yang dominan

c. Tipe lain

d. DM gestational


3. PATOGENESIS
Resistensi insulin dan peningkatan hormon kontaregulator

Penurunan ambilan glukosa oleh sel

hiperglikemia

polifagia
Tekanan darah rendah
dehidrasi
takikardia
poliuria
hipovolemik
Nadi cepat
polidipsi

4. MANIFESTASI KLINIS
a. Kadar gula darah tinggi
b. Poliuria sehingga dapat dehidrasi
c. Polidipsia
d. polifagia
e. Mual, muntah, dan sakit perut
f. Kesemutan
g. Gatal-gatal
h. Badan lemas

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Kadar glukoasa darah sewaktu
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO

6. PENEGAKAN DIAGNOSA
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200mg /dl
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl
3. Kadar glukosa plasma pada TTGO ≥ 200 mg/dl

7. TATALAKSANA
DM tiep I
a. Insulin

DM tipe II
a. Pemicu sekresi insulin Sulfonilurea dan Glinid
b. Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
c. Penghambat glukoneogenesis: metformin
d. Penghambat glukosidase alfa

8. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

Komplikasi DM meliputi :

Komplikasi akut:

1. KAD
2. Hipoglikemia
3. Hiperosmolar non ketotik

Komplikasi kronis:

Makrovaskuler
1. Pembuluh darah jantung
2. Pembuluh darah tepi
3. Pembuluh darah otak

Mikrovaskuler
1. Neoropati Diabetik
2. Nefropati Diabetik
3. Retinopati diabetik

Ketoasidosis Diabetik (KAD)

DEFINISI

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi – kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.

ETIOLOGI

Factor pencetus :
· Pada pasien KAD yang sudah ada DM dapat dikenali 80% pasien factor pencetus
· Infeksi
· Infark miokard akut, sakit jantung
· Pancreatitis akut
· Penggunaan obat golongan steroid
· Trauma, stress, kokain, surgery
· Menghentikan atau mengurangi dosis insulin
· Tidak ada intake cairan
· Stroke
· Acromegaly
· Idiopatik ( 20- 30% )
· Komplikasi kehamilan
· Kecelakaan cerebrovascular

Berdasarakan dari kasus pada scenario ini factor pencetusnya adalah infeksi yang terjadi pada kaki akibat tertusuk duri dan DM.
Pada saat infeksi kebutuhan insulin tiba- tiba meningkat-->terjadi peningkatan deficiency insulin-->memicu ketoasidosis diabetic.

Epidemiologi

· Di amerika serikat( Rochester ) menunjukkan bahwa insiden KAD sebesar 8 per 1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur. 13,4% per 1000 pasien DM per tahun untuk kelompok usia di bawah 30 tahun.

· Di Indonesia data komunitas belum ada, insiden KAD tidak sebanyak pada amerika serikat selain itu DM tipe 1 rendah, insiden KAD di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2

· Mortality atau morbility dengan managemen cairan yang modern mortality di KAD 2% per kejadian. Sebelum ada insulin kematian 100%.

· Sex, semua bisa terkena

· KAD dapat terjadi pada umur dibawah 19 tahun tapi bisa juga terjadi pada pasien dengan DM pada semua umur

PATOGTENESIS

Glukagon ↑
Insulin ↓

Jaringan lemak
Hati
Hati
Lipolisis ↑
Ketogenesis ↑
Glukoneogenesis ↑

Jaringan tepi
Penggunaan glukosa ↓

Asidosis (ketosis)
Diuresis osmotik
Hipovolemia
Dehidrasi

MANIFESTASI KLINIS
A. GAMBARAN KLINIK
Gejala dan tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pasien KAD adalah:
-Kadar gula darah tinggi (> 200 mg/dL)
-Terdapat keton di urin
-Banyak buang air kecil sehingga dapat dehidrasi
-Mual, muntah, dan sakit perut
-Sesak nafas (nafas cepat dan dalam)
-Nafas berbau aseton
-Badan lemas
-Kesadaran menurun sampai koma

B. KOMPLIKASI
Komplikasi dari ketoasidosis diabetik:
-Syok hipovolemik
-Edema paru (retensi natrium)?
-Hipertrigliseridemia
-Infark miokard akut

Penegakan Diagnosa :
1. Kadar glukosa darah > 250 mg %
2. Ph<7,35> 300 mg/dl
2. Keton > 3 ml /l
3. Asidosis bicarbonat < kg="8,4" bb =" 2n" n =" umur" tb =" 6n" n =" umur" u =" 5,8/3" nchs =" National" bb =" 1,93/9,1" u =" 72/3" tb =" 5,8/72">4,00 (>7,75)


7
6
5
4
3
2
1
0

Skor 0-3 = marasmus
Skor 4-8 = marasmik – kwashiorkor
Skor 9-15 = Kwashiokor

TATALAKSANA
Pada tata laksana rawat inap penderita KEP berat/Gizi buruk di Rumah Sakit terdapat 5 (lima) aspek penting, yang perlu diperhatikan:
A. Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat/Gizi buruk (10 langkah utama)
B. Pengobatan penyakit penyerta
C. Kegagalan pengobatan
D. Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas
E. Tindakan pada kegawatan.

A. PRINSIP DASAR PENGOBATAN RUTIN KEP BERAT/GIZI BURUK
Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah penting yaitu:
1. Atasi/cegah hipoglikemia
2. Atasi/cegah hipotermia
3. Atasi/cegah dehidrasi
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
5. Obati/cegah infeksi
6. Mulai pemberian makanan
7. Fasilitasi tumbuh-kejar (“catch up growth”)
8. Koreksi defisiensi nutrien mikro
9. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental
10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut setelah sembuh.

Dalam proses pengobatan KEP berat/Gizi buruk terdapat 3 fase yaitu
-fase stabilisasi,
-fase transisi, dan
-fase rehabilitasi.
Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase.
Tata laksana ini digunakan pada semua penderita KEP Berat/Gizi Buruk (Kwashiorkor, Marasmus maupun Marasmik-Kwashiorkor).

LANGKAH KE-1: PENGOBATAN/PENCEGAHAN HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersama-sama, seringkali sebagai tanda adanya infeksi. Periksa kadar gula darah bila ada hipotermia ( suhu ketiak <36°c/suhu>36,5°C, bila memakai pemanas ukur setiap 30 menit
- Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama malam hari
- Raba suhu anak
- Bila ada hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia.

Pencegahan:
- Segera beri makan / formula khusus setiap 2 jam (lihat langkah 6).
- Sepanjang malam selalu beri makan
- Selalu diselimuti dan hindari keadaan basah (baju, selimut, alas tempat tidur)
- Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau pemeriksaan medis terlalu lama).


LANGKAH KE-3: PENGOBATAN/PENCEGAHAN DEHIDRASI

Jangan menggunakan “jalur intravena / i.v.” untuk rehidrasi kecuali pada keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-hati, tetesan perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan jantung. (Lihat penanganan kegawatan).
Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak natrium dan kurang kalium untuk digunakan pada penderita KEP berat/gizi buruk. Sebagai pengganti, berikan larutan garam/elektrolit khusus yaitu Resomal (Rehydration Solution for Malnutrition atau penggantinya, lihat lampiran 6).
Tidaklah mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat/gizi buruk dengan menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua anak KEP berat/gizi buruk dengan diare encer mengalami dehidrasi sehingga harus diberi:
- Cairan Resomal / pengganti sebanyak 5 ml/KgBB setiap 30 menit selama 2 jam secara oral atau lewat pipa nasogastrik.
- Selanjutnya beri 5–10 ml/kg/jam untuk 4–10 jam berikutnya; jumlah tepat yang harus diberikan tergantung berapa banyak anak menginginkannya dan banyaknya kehilangan cairan melalui tinja dan muntah.
- Ganti Resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan formula khusus sejumlah yang sama bila keadaan rehidrasi menetap/stabil.
- Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6).
Selama pengobatan, pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik dan anak mulai kencing.

Pemantauan

Lakukan penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½-1 jam selama 2 jam pertama, kemudian setiap jam untuk 6-12 jam selanjutnya.dengan memantau:
- denyut nadi
- pernafasan
- frekwensi kencing
- frekwensi diare/muntah.

Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar yang berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan tanda bahwa rehidrasi telah berlangsung, tetapi pada KEP berat/gizi buruk perubahan ini seringkali tidak terlihat, walaupun rehidrasi sudah tercapai. Pernafasan dan denyut nadi yang cepat dan menetap selama rehidrasi menunjukkan adanya infeksi atau kelebihan cairan.
Tanda kelebihan cairan: frekwensi pernafasan dan nadi meningkat, edema dan pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tanda-tanda tersebut, hentikan segera pemberian cairan dan nilai kembali setelah 1 jam.
Pencegahan:
- Bila diare encer berlanjut:
- Teruskan pemberian formula khusus (langkah 6)
- Ganti cairan yang hilang dengan Resomal / pengganti (jumlah + sama)
Sebagai pedoman, berikan Resomal/pengganti sebanyak 50-100 ml setiap kali buang air besar cair
- Bila masih mendapat ASI, teruskan

LANGKAH KE-4: KOREKSI GANGGUAN KESEIMBANGAN ELEKTROLIT

Pada semua KEP berat terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg) sering terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu untuk pemulihan.
Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan pada terjadinya edema (jangan obati edema dengan pemberian diuretikum)
Berikan :
- Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari)
- Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2 /kgBB/hari)
- Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti)
- Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.

Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan tersebut pada 1 liter formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg. (Lihat lampiran 6 untuk cara pembuatan larutan).

LANGKAH KE-5: PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN INFEKSI

Pada KEP berat/gizi buruk, tanda yang biasanya menunjukkan adanya infeksi seperti demam seringkali tidak tampak.
Karenanya pada semua KEP berat/gizi buruk beri secara rutin :
- Antibiotik spektrum luas
- Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan belum pernah diimunisasi (tunda bila ada syok). Ulangi pemberian vaksin setelah keadaan gizi anak menjadi baik.

Catatan:
Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama 7 hari) sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna mempercepat perbaikan mucosa usus dan mengurangi resiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerobik dalam usus halus.
Pilihan antibiotik spektrum luas:
Bila tanpa komplikasi:
Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara oral, 2 x/hari selama 5 hari (2,5 ml bila berat badan <>5x/menit dan denyut nadi >25x/menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula. Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas.
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi:
- Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.
- Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari
- Protein 4-6 gram/kgBB/hari
- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula, karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.
Pemantauan setelah periode transisi:
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan :
- Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.
- Evaluasi kenaikan BB setiap minggu

Bila kenaikan BB:
- kurang ( <50> 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan : 100.000 SI, < bb =" 70kg," tb =" 160cm," bb =" 70kg," tb =" 160cm," 2="27,34kg/m2" bb =" [" bb =" [" bb =" TB" bb =" TB"> 160 cm
TB = 160 cm ???

BMI Ny. Luna
BMI = 70 kg
1.62
= 27.34
Ny. Luna-->obesitas I

Kebutuhan kalori yang dibutuhkan oleh nyonya luna:

Harris benedick
Langkah Menentukan Kebutuhan Energi
-Tentukan BMR
-Tentukan kebutuhan energi untuk aktifitas fisik
-Tentukan faktor berat badan

Kebutuhan energi basal
BEE = 655,1 + ( 9,563 X kg BB ) + (1,850 X cm TB ) – ( 4,676 X Umur )
= 655,1 + ( 9,563 X 70 kg ) + (1,850 X 160 cm ) – ( 4,676 X 35 tahun )
= 1456,85 Kkalori

Tentukan kebutuhan energi untuk aktifitas fisik
Kebutuhan Energi untuk aktifitas fisik

Aktifitas laki-laki perempuan
Sangat ringan 1,30 1,30
Ringan 1,65 1,55
Sedang 1,76 1,70
Berat 2,10 2,00
= 1,55 X 1456,85
= 2258,1175 Kkalori


faktor berat badan
Kurang dari berat badan ideal = + 500 Kkalori
Berlebih dari berat badan ideal = - 500 Kkalori

Karena berlebih dari berat badan normal, maka dikurangi 500
= 2258,1175 Kkalori – 500
= 1758,1175 Kkalori

Kebutuhan protein, Lemak dan Karbohidrat
Kebutuhan Protein
Kebutuhan Protein = 10-15% dari total kebutuhan energi total
= 10% x 1758,1175 Kkalori
= 175,811 / 4
= 43,95 gram

Kebutuhan Lemak
Kebutuhan Lemak = 10-25% dari total kebutuhan energi total
= 20% x 1758,1175 Kkalori
= 351,62 / 9
= 39,067 gram

Kebutuhan Karbohidrat
Kebutuhan Karbohidrat = 60-75% dari total kebutuhan energi total
= 70% x 1758,1175 Kkalori
= 1230,68 / 4
= 307,67 gram

Diet Ketat – fitness 2 jam/hari

Diet ketat-->intake makanan menurun-->sumber energi KH, lemak,dan protein menurun-->jar. Tubuh lebih mengutamakan cadangan energi dari glukosa-->glikogenolisis--> cadangan glikogen menurun-->karena olahraga berat--> glikolisis (glukosa diubah menjadi asam laktat)-->tertumpuklah asam laktat diotot-->terjadi proses recovery-->olahraga setiap hari-->asam lemak akan terus tertumpuk-->regenerasi sel2 otot menjadi lebih lambat.

Ny. Luna menjalani diet ketat dengan tujuan mengurangi food intake yang masuk ke dalam tubuhnya. Berarti sumber energi karbohidrat, lemak, dan protein akan berkurang. Dengan demikian cadangan energi yang tersimpan akan digunakan untuk menjalani kegiatan sehari-harinya.
Jaringan tubuh lebih mengutamakan penggunaan cadangan energi berbentuk yang berbentuk dan akan berbentuk glukosa karena glukosa adalah sumber energy yang paling ramah lingkungan dalam tubuh. Glukosa tidak memiliki efek samping seperti sampah nitrogen yang dihasilkan protein dan benda keton yang dihasilkan oleh lemak.

Diet ketat
glikogen↓
breakdown
Glucagon↑
Food intake↓
glukosa↑

Dengan demikian, cadangan glikogen Ny. Luna akan berkurang, tetapi akan kembali ke keadaan stabil setelah mencapai titik tertentu, karena Ny. Luna tetap memiliki food intake dan hanya dikurangi dan dibatasi.
Ny. Luna akan kembali berada pada kondisi homeostasis, tetapi yang menjadi masalah adalah Ny. Luna juga melakukan olahraga berat selama 1 jam per hari. Cadangan glikogen yang disimpan di otot akan segera digunakan saat ia berolahraga, dan cadangan di hati akan digunakan saat melakukan aktivitas sehgari-hari. Pada penggunaan glukosa. Ny. Luna melakukan olahraga berat, memerlukan energy yang cepat saji. Dilakukanlah glikolisis tanpa memasuki siklus asam sitrat. Setelah 1 molekul glukosa memasuki siklus tahap glikolisis, asam piruvat sebagai produk dari glikolisis tersebut akan menunggu oksigen untuk memasuki siklus asam sitrat. Diduga oksigen tersedia karena Ny. Luna melakukan olahraga berat sehingga pasokan oksigen kurang. Akibatnya ada asam piruvat yang dapat memasuki siklus asam sitrat dan ada yang tidak bisa. Ditambah lagi dengan alasan bahwa Ny. Luna memerlukan energy ATP dalam waktu yang cepat, asam piruvat akan mengikat atom H dari molekul NADH dan melalui reaksi laktat dehidrogenase akan menjadi asam laktat. Sebagai efek sampingnya, asam laktat berkumpul di otot.
O2↓↓
Asam Laktat Asam Piruvat Glikolisis

NAD NADH + H
Tubuh Ny. Luna Akan mentolerir keadaan ini dengan adanya fase recover bagi sel-sel otot minimal satu hari setelah olahraga berat. Namun, Ny. Luna melakukan olahraga berat setiap hari sehingga asam laktat akan terus bertumpuk dan regenerasi sel-sel ototnya akan menjadi lebih lambat.
Diet ketat menyebabkan kadar glukosa akan terus menurun, sehingga tubuh menggunakan cadangan energy lemak dan protein untuk aktivitas hari-hari dan melakukan olahraga berat. Lemak akan dibakar untuk mendapatkan ATP sebagai sumber energi melalui glukoneogenesis.
Lipid gliserol Glyceraldehid posfat glikolisis asam piruvat

Siklus Krebs Asetil KoA
Sebagai efek sampingnya, kadar benda keton akan meningkat. Peningkatan mobilisasi lemak sebagai sumber energy menyebabkan pengurangan jaringan lemak dan komponennya. Terjadi peningkatan sekresi glukokortikoid dan pelepasan asam lemak dari jaringan adiposa.
Selain lemak, jaringan protein juga digunakan sebagai sumber energy. Ditambah lagi Ny.Luna melakukan olahraga berat. Saat melakukan olahraga berat, tubuh cenderung menggunakan sumber energy berupa protein. Energy yang digunakan sebagai sumber energy akan menyisakan sampah nitrogen sebagai hasil sampingannya. Sampah nitrogen yang terus bertumpuk akan diubah menjadi urea dan dibuang melalui ginjal bersama urin.

Jamu pelangsing

Ny. Luna mengkonsumsi obat/ jamu pelangsing bertujuan membantu program penurunan berat badannya. Obat pelangsing berfungsi mencegah atau mengurangi kemampuan absorbsi terhadap lemak pada saluran pencernaan. Dengan begitu input lemak yang berperan besar dalam peningkatan bereat badan, akan berkurang dan cadangan lemak yang disimpan dalam jaringan adiposa juga akan berkurang.
Efek Samping:
· Pada obat pelangsing yang mengandung tiroksin menyebabkan terganggunya kestabilan hormone.
· Obat yang mengandung ekstasi menyebabkan susah tidur sehingga daya tahan tubuh akan berkurang, imunitas terganggu dan mudah terserang penyakit.
· Yang megandung amfetamin dapat menyempitkan pembuluh darah.
· Ada pula yang mengandung diuretic, menyebabkan peningkatan frekuensi buang air kecil dan mengganggu kesehatan ginjal.
· Obat pelangsing juga dapat menyebabkan gangguan emosi, hiperaktivitas, perut kembung, keletihan terus-menerus, depresi, gemetar, kesuburan terganggu, mengganggu siklus menstruasi, dan juga dapat menyebabkan menopause dini.

Manifestasi Klinis

Selama dan setelah menjalani 3 resep yang diberikan temannya tentang program penurunan berat badan, Ny. Luna merasakan timbulnya beberapa manifestasi klinik:

1. Buang air kecil lebih sering dari biasanya

Obat pelangsing yang mengandung diuretik-->reabsorbsi air di dalam ginjal menurun-->urin lebih cepat terkumpul dalam VU-->diuresis meningkatßjuga dipengaruhi oleh penekanan ADH.

Dalam artian jumlah urin yang dikeluarkan dalam sehari lebih dari biasanya. Batas normal pengeluaran urin dalam 1 hari adalah sekitar 1-1.5 liter. Yang menjadi penyebab bisa saja akibat diet ketat dan olahraga berat yang dilakukan oleh Ny. Luna. Penggunaan protein sebagai sumber energy say olahraga berat karena cadangan glukosa yang menurun akibat diet ketat, menyebabkan kadar sampah nitrogen lebih cepat meningkat, ditambah lagi jika obat pelangsing yang dikonsumsi oleh Ny. Luna mengandung diuretic, yang fungsinya mengurangi reabsorbsi air dalam ginjal, menyebabkan urin lebih cepat terkumpul dan sensasi ingin miktruisi lebih sering terasa sehingga Ny. Luna lebih sering buang air kecil.

2. Berat badan turun sekitar 12 kg

Intake menurun dan aktivitas meningkat-->kebutuhan glukosa untuk metabolisme tubuh tidak tercukupi-->glikogenolisis-->glukoneogenesis( lipolisisàproteolisis) -->BB menurun.

Pengurangan jaringan adiposa dan cadangan energy lain yang praktis terus-menerus digunakan setiap hari utuk olahraga berat menyebabkan penurunan berat badan. Dan juga jumlah urin yang dikeluarkan juga lebih dari biasanya mengakibatkan penurunan berat badan secara drastis, karena air merupakan komponen terbanyak penyusun tubuh manusia.

Batas penurunan berat badan adalah 0.5-1 kg per minggu atau <> 10 % (17.4%) dalam jangka waktu 2 bulan.

3. Terserang flu 2 kali dalam 3 minggu

Stress fisik dan neurologis (olahraga berat dan diet)-->kortisol meningkat-->menekan fungsi limfosit-->S. Imun menurun-->mudah terinfeksi-->salah satunya flu

Sebagai akibat dari malnutrisi yang dialami Ny. Luna, energy serta bahan dasar bagi berbagai komponen yang dibutuhkan tubuh Ny. Luna akan berkurang. Dengan melakukan olahraga berat dan diet ketat serta pengkonsumsian obat pelangsing dapat menyebabkan peningkatan kortisol dalam darah sehingga menekan produksi limfosit dan berakibat pada penurunan respon imunitas. Penurunan respon imunitas serta berkurangnya kadar antioksidan akibat dari siet ketat menyebabkan Ny. Luna mudah terserang penyakit yang menyerang daya tahan tubuh terutama flu.

4. Lemah, Gemetaran, dan Mudah Tersinggung

Asupan glukosa menurun-->glikogenolisis dan glukoneogenesis-->protein menurun--> lemah-->gemetar karena aktivitas yang berat.

Gemetar juga karena dehidrasi -->gangguan eksitabilitas neuromuskular
Keadaan hipoglikemia --> peningkatan stimulus saraf simpatis --> gemetar


Glukoneogenesis (khususnya lemak)-->lemak menurun-->proses pembentukan hormon menjadi terganggu-->hormon estrogen menurun-->mudah tersinggung.

Saat terserang flu, daya tahan tubuh Ny. Luna menurun. Olahraga berat yang tidak disertai dengan fase recovery, menyebabkan penumpukkan asam laktat, berakibat pada Ny. Luna merasakan tubuhnya lemah untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Pada saat berolahraga berat, tubuh Ny. Luna dipaksa untuk meningkatkan kadar gula dalam darah melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis. Sehingga Ny. Luna mampu melaksanakan olahraga berat. Namun setiap ia selesai berolahraga, ia merasakan tubuhnya sangat lemah. Ditambah lagi ia melakukan diet ketat, berakibat asupan nutrisi dan sumber energy aktivitas sel berkurang.

Tidak ada atau berkurangnya energy pada otot menyebabkan otot kelelahan dan dapat menyebabkan gemetar saat atau setelah mengangkat sesuatu yang berat.

Peningkatan pelepasan dan mobilisasi asam lemak sebagai sumber energy menyebabkan bahan dasar pembuatan hormon, khususnya estrogen, berkurang. Penurunan estrogen pada Ny. Luna menyebabkan gangguan emosi dan menyebabkan ia mudah tersinggung.

5. Siklus Menstruasi Tidak Teratur

Glukoneogenesis (khususnya lemak)-->lemak menurun-->proses pembentukan hormon menjadi terganggu-->hormon menstruasi menurun-->siklus menstruasi menjadi tidak teratur.

Gangguan produksi hormon sebagai akibat penggunaan lemak sebagai sumber energy, menghambat pembentukan hormone pengatur siklus menstruasi. Akibat gangguan ini siklus menstruasi menjadi tidak teratur.

TATALAKSANA

Konsultasi ahli

1. Terapi diet
2. Aktifitas fisik
— Dimulai dengan berjalan ± 30 menit 3 X seminggu dan ditingkatkan 45 menit, 5 X seminggu
— ± 100-200 kal/hari
3. Terapi perilaku
— Pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan, aktifitas fisik, manajemen stress, stimulasi kontrol, pemecahan masalah, dukungan sosial
4. Farmakoterapi
— Sibutramin dan orlistat, menghambat absorbsi lemak ± 300 %
5. Terapi bedah
— Hanya untuk pasien obes dengan IMT ≥ 40 atau ≥ 35 dengan kondisi komorbid

10 tips diet sehat
I. Mengkonsumsi 5 porsi buah dan sayuran setiap hari
o Buah dan sayur ini dapat dikonsumsi sebagai snack di sela-sela makan pagi, makan siang , dan makan malam.
o Buah dapat dikonsumsi 2 kali sehari dan sayur 3 kali satu hari.
II. Makan 2 sampai 4 porsi protein setiap hari.
o Makanan sumber protein : hewani ( ikan produk dairy : susu dan telor ) dan nabati ( doya dan kacang-kacangan )
III. Makan paling sedikt ikan kaya omega 3.
IV. Kurangi konsumsi lemak, teristimewa lemak jenuh yang bersumber pada daging hewan.
o Gantikan dengan pemakaian minyak zaitun ( olive ).
o Pakai minyak olive sebagai salad dressing, pengganti mayones.
o Oilih daging atau ayam tanpa lemak.
V. Kurangi konsumsi gula secara berlebihan.
o Tambahkan gula secukupnya pada jus, atau pakai campuran buah berasa manis pada jus buah dengan rasa asam.
o Ganti minuman bersirup dengan air putih atau the tawar.
o Minuman bersoda yang mengandung kadar gula yang tinggi.
VI. Pilih bahan karbohidrat yang kaya serat seperti roti wholemeal dan sereal wholegrain
VII. Minum banyak air (1, 75 liter/hari ) sekitar 6-8 gelas sehari.
VIII. Konsumsi 2 makanan produk dairy ( susu dan telor ) dan yoghurt rendah lemak.
IX. Kurangi pemakaian garam terutama garam meja.
X. Kurangi konsumsi makanan cepat saji/fast food sampai kurang dari seminggu sekali.
o Fast food banyak mengandung lemak jenuh dan terdapat sedikit nutrisi penting, seperti serat, vitamin, mineral (terutama kalsium ).

Saran Untuk Ny. Luna

Ny. Luna telah mengalami malnutrisi tetapi ia telah mendapatkan keinginannya untuk menurunkan berat badan. Untuk itu diperlukan saran yang dapat mengurangi manifestasi klinik yang dialami oleh Ny. Luna dan menjaga agar berat badannya tidak naik kembali.
1. Daya tahan tubuh Ny. Luna telah menurun, untuk itu ia perlu mengkonsumsi multivitamin dalam dosis yang tepat.
2. Ny. Luna harus memasuki fase recovery dengan menghentikan olahraga berat yang dilakukannya.
3. Ny. Luna dapat memeriksakan diri ke laboratorium untuk diperiksa nutrisi apa yang kurang dan dibutuhkan tubuhnya saat ini.
4. Setelah memeriksakan diri, Ny. Luna dapat mengatur pola makannya, dan tidak perlu melakukan diet ketat untuk menjaga berat badannya.
5. Ny. Luna juga harus menghentikan pengkonsumsian obat-obatan pelangsing.
6. Untuk kedepannya, Ny. Luna dapat berkonsultasi kepada seoarng ahli jika ingin melaksanakn program penurunan berat badan. Jika mendapat informasi tentang program penurunan berat badan, sebaiknya dikonfirmasikan dulu kepada orang yang ahli di bidang tersebut.
7. Ny. Luna harus percaya diri dengan dirinya sendiri dan harus percaya dan yakin bahwa suaminya akan menerima dirinya apa adanya dan akan selalu mencintainya.

Jumat, 06 Februari 2009

diabetic ketoacidosis






Introduction



Background



Diabetic ketoacidosis (DKA) is an acute, major, life-threatening complication of diabetes. DKA mainly occurs in patients with type 1 diabetes, but it is not uncommon in some patients with type 2 diabetes. DKA is defined clinically as an acute state of severe uncontrolled diabetes that requires emergency treatment with insulin and intravenous fluids. Biochemically, DKA is defined as an increase in the serum concentration of ketones greater than 5 mEq/L, a blood glucose level of greater than 250 mg/dL (although it is usually much higher), blood pH of less than 7.2, and a bicarbonate level of 18 mEq/L or less.



Pathophysiology


DKA is a complex disordered metabolic state characterized by hyperglycemia, acidosis, and ketonuria. DKA usually occurs as a consequence of absolute or relative insulin deficiency that is accompanied by an increase in counter-regulatory hormones (ie, glucagon, cortisol, growth hormone, epinephrine). This type of hormonal imbalance enhances hepatic gluconeogenesis, glycogenolysis, and lipolysis.
Hepatic gluconeogenesis, glycogenolysis secondary to insulin deficiency, and counter-regulatory hormone excess result in severe hyperglycemia, while lipolysis increases serum free fatty acids. Hepatic metabolism of free fatty acids as an alternative energy source (ie, ketogenesis) results in accumulation of acidic intermediate and end metabolites (ie, ketones, ketoacids). Ketones include acetone, beta hydroxybutyrate, and acetoacetate.
Progressive rise of blood concentration of these acidic organic substances initially leads to a state of ketonemia. Natural body buffers can buffer ketonemia in its early stages. When the accumulated ketones exceed the body's capacity of extracting them, they overflow into urine (ie, ketonuria). If the situation is not treated promptly, more accumulation of organic acids leads to frank clinical metabolic acidosis (ie, ketoacidosis), with a drop in pH and bicarbonate serum levels. Respiratory compensation of this acidotic condition results in rapid shallow breathing (Kussmaul respirations).
Ketones, in particular beta hydroxybutyrate, induce nausea and vomiting that consequently aggravate fluid and electrolyte loss already existing in DKA. Moreover, acetone produces the characteristic fruity breath odor of ketotic patients.
Hyperglycemia usually exceeds the renal threshold of glucose absorption and results in significant glycosuria. Consequently, water loss in the urine is increased due to osmotic diuresis induced by glycosuria. This incidence of increased water loss results in severe dehydration, thirst, tissue hypoperfusion, and, possibly, lactic acidosis.
Typical free water loss in DKA is approximately 6 liters or nearly 100 mL/kg of body weight. The initial half of this amount is derived from intracellular fluid and precedes signs of dehydration, while the other half is from extracellular fluid and is responsible for signs of dehydration.
Hyperglycemia, osmotic diuresis, serum hyperosmolarity, and metabolic acidosis result in severe electrolyte disturbances. The most characteristic disturbance is total body potassium loss. This loss is not mirrored in serum potassium levels, which may be low, within the reference range, or even high. Potassium loss is caused by a shift of potassium from the intracellular to the extracellular space in an exchange with hydrogen ions that accumulate extracellularly in acidosis. A large part of the shifted extracellular potassium is lost in urine because of osmotic diuresis. Patients with initial hypokalemia are considered to have severe and serious total body potassium depletion. High serum osmolarity also drives water from intracellular to extracellular space, causing dilutional hyponatremia. Sodium also is lost in the urine during the osmotic diuresis.
Typical overall electrolyte loss includes 200-500 mEq/L of potassium, 300-700 mEq/L of sodium, and 350-500 mEq/L of chloride. The combined effects of serum hyperosmolarity, dehydration, and acidosis result in increased osmolarity in brain cells that clinically manifests as an alteration in the level of consciousness.


Frequency


United States
Currently, DKA occurs less frequently in patients with known diabetes because of the introduction of diabetes educational programs in most diabetes clinics. These programs teach patients with diabetes how to test for urinary ketones and how to adjust their insulin regimen on sick days in order to avoid DKA.In spite of the advancement in self-care of patients with diabetes, DKA still accounts for 50% of diabetes-related admissions in young persons and 1-2% of all primary diabetes-related admissions. DKA frequently is observed during the diagnosis of type 1 diabetes and frequently indicates this diagnosis. Exact incidence is not known, but it is estimated to be 1 out of 2000.Although DKA was a common problem in patients with diabetes who were treated with continuous subcutaneous insulin infusion (SCII) through insulin infusion pumps, incidence of DKA became less frequent with the introduction of new pumps equipped with sensitive electronic alarm systems that alert users when the infusion catheter is blocked. Frequent blood glucose monitoring at home makes DKA less likely to occur in such patients because they always can search, in a timely manner, for possible reasons for unexpectedly high blood glucose values before the condition progresses to DKA.DKA also occurs in pregnant women, either with preexisting diabetes or with diabetes diagnosed during pregnancy. Physiologic changes unique to pregnancy provide a background for the development of DKA. DKA in pregnancy is a medical emergency, as both the mother and the fetus are at risk for significant morbidity and mortality.
International
Incidence is not known but may be higher in developing countries.
Mortality/Morbidity
When DKA is treated properly, it rarely causes any residual effects. The overall mortality rate from DKA ranges from 1-10% of all DKA admissions, according to hospital facilities and the experiences of people who have dealt with this acute metabolic condition. Better understanding of the pathophysiology of DKA and proper monitoring and correction of electrolytes has resulted in significant reduction in the overall mortality rate from this life-threatening condition in most developed countries. Mortality rates from DKA have markedly decreased from 7.96% 20 years ago to 0.67%.1
Best results are always observed in patients treated in ICUs during the first 1-2 days of hospitalization.
In contrast, the mortality rate still is high in developing countries and among nonhospitalized patients. This high mortality rate illustrates the necessity of early diagnosis and the implementation of effective prevention programs.
Cerebral edema remains the most common cause of mortality, particularly in young children and adolescents.2 Cerebral edema frequently results from rapid intracellular fluid shifts. Other causes of mortality include severe hypokalemia, adult respiratory distress syndrome, and comorbid states (eg, pneumonia, acute myocardial infarction).

Race


Incidence of DKA is higher in whites because of the higher incidence of type 1 diabetes in this racial group.


Sex


Incidence of DKA is slightly more common in females than in males for reasons that are unclear. Recurrent DKA is frequently seen in young women with type 1 diabetes mellitus (DM) and is mostly caused by the omission of insulin treatment.


Age


DKA is much more common in young children and adolescents than it is in adults with type 1 diabetes.


Clinical


History
Insidious increased thirst (ie, polydipsia) and urination (ie, polyuria) are the most common early symptoms of diabetic ketoacidosis (DKA).
Nausea and vomiting usually occur and may be associated with diffuse abdominal pain.
Generalized weakness and fatigability may occur.
Altered consciousness in the form of mild disorientation or confusion is a possible symptom. Although frank coma is uncommon, it may occasionally occur when the condition is neglected or if dehydration or acidosis is severe.
Symptoms of possible associated intercurrent infection may include fever, dysuria, coughing, malaise, and arthralgia, among others.
Acute chest pain or palpitation may occur in association with myocardial infarction. Painless infarction is not uncommon in patients with diabetes and should always be suspected in elderly patients.
Patients may present with a history of failure to comply with insulin therapy or missed insulin injections due to vomiting or psychological reasons.
History of rapid weight loss is a symptom in patients who are newly diagnosed with type 1 diabetes.
Physical
Signs of dehydration - Weak and rapid pulse, dry tongue and skin, hypotension, and increased capillary refill time
Patient odor - Characteristic acetone odor
Signs of acidosis - Shallow rapid breathing or air hunger (Kussmaul or sighing respiration), abdominal tenderness, and disturbance of consciousness
Although these signs are not usual in all cases of DKA, their presence signifies a severe form of DKA.
Emphasizing that no direct correlation exists between the degree of acidosis, hyperglycemia, and the disturbances in the level of consciousness is important.
Signs of intercurrent illness - Myocardial infarction, urinary tract infection (UTI), pneumonia, and perinephric abscess, among others
Noticing that the body temperature may be within the reference range or low, even in the presence of intercurrent infection, is particularly important.
Search for signs of infection is mandatory in all cases.


Causes


Patients with type 1 diabetes3
DKA present at diagnosis of type 1 diabetes due to acute insulin deficiency (occurs in 25% of patients)
Poor compliance with insulin through the omission of insulin injections either due to lack of patient or guardian education or as a result of psychological stress, particularly in adolescents
Bacterial infection and intercurrent illness (eg, UTI, vomiting)
Klebsiella pneumoniae (the leading cause of bacterial infections precipitating DKA)
Medical, surgical, or emotional stress
Brittle diabetes
Idiopathic (no identifiable cause)
Insulin infusion catheter blockage
Mechanical failure of insulin infusion pump
Patients with type 2 diabetes
Intercurrent illness (eg, myocardial infarction, pneumonia, prostatitis, UTI)
Medication (eg, corticosteroids, pentamidine, clozapine)


Differential Diagnoses


Alcoholic Ketoacidosis
Sepsis, Bacterial
Hyperosmolar Coma
Toxicity, Salicylate
Lactic Acidosis
Metabolic Acidosis
Pancreatitis, Acute

Other Problems to Be Considered
Bacteremia and sepsisDehydration due to gastroenteritis
Workup


Laboratory Studies


Urine


This test is highly positive for glucose and ketones by dipstick testing. Rarely, urine is negative for ketones because most of the available laboratory tests can detect only acetoacetate, while the predominant ketone in severe untreated DKA is beta hydroxybutyrate. When the clinical condition improves with treatment, the urine test result becomes positive due to the returning predominance of acetoacetate.
Urine culture helps to identify any possible infecting organisms.


Blood and plasma


The blood glucose level usually is higher than 250 mg/dL.
Serum ketones are present. Blood beta-hydroxybutyrate (beta-OHB) levels measured by a reagent strip (Ketostix, N-Multistix, and Labstix) and serum ketone levels assessed by the nitroprusside reaction are equally effective in diagnosing DKA among uncomplicated cases.
Arterial blood gases (ABG) frequently show typical manifestations of metabolic acidosis, low bicarbonate, and low pH (<7.2).>13 mEq/L).
Plasma osmolarity usually is increased (>290 mOsm/L). If plasma osmolarity cannot be directly measured, it may be calculated with this formula: plasma osmolarity = 2 (Na + K) + BUN/3 + glucose/18. Urine osmolarity also is increased.
Even in the absence of infection, CBC shows increased WBC count.
BUN frequently is increased.
Blood culture findings may help to identify any possible infecting organisms.
Frequency of laboratory studies
Blood tests for glucose should be performed hourly (until patient is stable, then every 6 h).
Serum electrolyte determinations should be obtained hourly (until patient is stable, then every 6 h).
BUN should be performed initially.
ABG should be performed initially, followed with bicarbonate as necessary.


Imaging Studies


Plain chest radiograph may reveal signs of pneumonia.
If it occurs during therapy, magnetic resonance imaging (MRI) is helpful in detecting early cerebral edema and should only be ordered if altered consciousness is present.2
Other Tests


Electrocardiogram


This test may reveal signs of acute myocardial infarction that could be painless in patients with diabetes, particularly in those with autonomic neuropathy.
T-wave changes may produce the first warning sign of disturbed serum potassium levels.
Low T wave and apparent U wave always signify hypokalemia, while peaked T wave is observed in hyperkalemia.
ECG should be performed every 6 hours during the first day, unless the patient is monitored.


Treatment


Medical Care


Managing diabetic ketoacidosis (DKA) in an ICU during the first 24-48 hours is always advisable. When treating DKA, the points that must be considered and closely monitored include correction of fluid loss with IV fluids; correction of hyperglycemia with insulin; correction of electrolyte disturbances, particularly potassium loss; correction of acid-base balance; and treatment of concurrent infection if present.
Paying great attention to the correction of fluid and electrolyte loss during the first hour of treatment, followed by gradual correction of hyperglycemia and acidosis, always is advisable. Correction of fluid loss makes the clinical picture clearer and may be sufficient to correct acidosis. The presence of even mild signs of dehydration means that at least 3 liters of fluid already have been lost.
Fluids: Initial correction of fluid loss is either by isotonic sodium chloride solution or by lactated Ringer solution.
Administer 1 liter over the first 30 minutes.
Administer 1 liter over the second hour.
Administer 1 liter over the following 2 hours.
Administer 1 liter every 4 hours, depending on the degree of dehydration and central venous pressure (CVP) readings.
When the patient becomes euvolemic, the physician may switch to half the isotonic sodium chloride solution, particularly if hypernatremia exists.
When blood sugar decreases to less than 180 mg/dL, isotonic sodium chloride solution is replaced with 5-10% dextrose with half isotonic sodium chloride solution.
Insulin
When insulin treatment is started, several points must be considered.
A low-dose insulin regimen has the advantage of not inducing severe hypoglycemia or hypokalemia, as may be observed with a high-dose insulin regimen.
Only short-acting insulin is used for correction of hyperglycemia.
Subcutaneous absorption of insulin is reduced in DKA because of dehydration; therefore, using IV or IM routes is traditionally preferable. More recently, subcutaneous use of the fast-acting insulin analog (lispro) has been tried in pediatric DKA (0.15 U/kg q2h). The results were shown to be comparable to IV insulin, but ketosis took 6 more hours to resolve. Such technically simplified methods may be cost-effective and may preclude ICU admissions in mild cases.
The initial insulin dose is a continuous IV insulin infusion using an infusion pump, if available, at a rate of 0.1 U/kg/h. A mix of 24 units of regular insulin in 60 mL of isotonic sodium chloride solution usually is infused at a rate of 15 mL/h (6 U/h) until the blood sugar drops to less than 180 mg/dL, then the rate of infusion decreases to 5-7.5 mL/h (2-3 U/h) until the ketoacidotic state abates. Larger volumes of an insulin and isotonic sodium chloride solution mixture can be used, providing that the infusion dose of insulin is similar. Larger volumes may be easier in the absence of an intravenous infusion pump (eg, 60 U of insulin in 500 mL of isotonic sodium chloride solution at a rate of 50 mL/h).
The optimal rate of glucose decline is 100 mg/dL/h.
Do not allow the blood glucose level to fall below 200 mg/dL during the first 4-5 hours of treatment.
Hypoglycemia may develop rapidly with correction of ketoacidosis.
A common mistake is to allow blood glucose to drop to hypoglycemic levels. This mistake usually results in a rebound ketosis derived by counter-regulatory hormones. Rebound ketosis requires a longer duration of treatment. The other hazard is that rapid correction of hyperglycemia and hyperosmolarity may shift water rapidly to the hyperosmolar intracellular space and may induce cerebral edema.
Electrolyte correction
Potassium
If the potassium level is greater than 6 mEq/L, do not administer potassium supplement.
If the potassium level is 4.5-6 mEq/L, administer 10 mEq/h of potassium chloride.
If the potassium level is 3-4.5 mEq/L, administer 20 mEq/h of potassium chloride.
Monitor serum potassium levels hourly, and the infusion must stop if the potassium level is greater than 5 mEq/L.
Monitoring of serum potassium must continue even after potassium infusion is stopped in the case of (expected) recurrence of hypokalemia.
In severe hypokalemia, not to starting insulin therapy is advisable unless potassium replacement is underway in order to avoid potentially serious cardiac dysrhythmia that may result from hypokalemia.
Correction of acid-base balance
Sodium bicarbonate only is infused if decompensated acidosis starts to threaten the patient's life, especially when associated with either sepsis or lactic acidosis.
If sodium bicarbonate is indicated, 100-150 mL of 1.4% concentration is infused initially. This may be repeated every half hour if necessary.
Rapid and early correction of acidosis with sodium bicarbonate may worsen hypokalemia and cause paradoxical cellular acidosis.
Treatment of concurrent infection
In the presence of infection, administer proper antibiotics guided by the results of culture and sensitivity studies.
Starting empiric antibiotics on suspicion of infection until culture results are available may be advisable.

Medication


Regular and analog human insulins are used for correction of hyperglycemia, unless bovine or pork insulin is the only available insulin. Clinical considerations in treating diabetic ketoacidosis (DKA) include the following: (1) only short-acting insulin is used for correction of hyperglycemia in DKA, (2) the optimal rate of glucose decline is 100 mg/dL/h, (3) the blood glucose level should not be allowed to fall lower than 200 mg/dL during the first 4-5 hours of treatment, and (4) avoid induction of hypoglycemia because it may develop rapidly during correction of ketoacidosis and may not provide sufficient warning time.
Hypoglycemic agents
These agents reduce plasma glucose levels.
Regular insulin (Humulin, Novolin), Ultra–short-acting insulin-analog (Humalog, NovoLog, Apidra)
Insulin suppresses hepatic glucose output and enhances glucose uptake by peripheral tissues. Insulin also suppresses ketogenesis and lipolysis, stimulates proper use of glucose by the cells, and reduces blood sugar levels.


Treatment


Medical Care


Managing diabetic ketoacidosis (DKA) in an ICU during the first 24-48 hours is always advisable. When treating DKA, the points that must be considered and closely monitored include correction of fluid loss with IV fluids; correction of hyperglycemia with insulin; correction of electrolyte disturbances, particularly potassium loss; correction of acid-base balance; and treatment of concurrent infection if present.
Paying great attention to the correction of fluid and electrolyte loss during the first hour of treatment, followed by gradual correction of hyperglycemia and acidosis, always is advisable. Correction of fluid loss makes the clinical picture clearer and may be sufficient to correct acidosis. The presence of even mild signs of dehydration means that at least 3 liters of fluid already have been lost.
Fluids: Initial correction of fluid loss is either by isotonic sodium chloride solution or by lactated Ringer solution.
Administer 1 liter over the first 30 minutes.
Administer 1 liter over the second hour.
Administer 1 liter over the following 2 hours.
Administer 1 liter every 4 hours, depending on the degree of dehydration and central venous pressure (CVP) readings.
When the patient becomes euvolemic, the physician may switch to half the isotonic sodium chloride solution, particularly if hypernatremia exists.
When blood sugar decreases to less than 180 mg/dL, isotonic sodium chloride solution is replaced with 5-10% dextrose with half isotonic sodium chloride solution.
Insulin
When insulin treatment is started, several points must be considered.
A low-dose insulin regimen has the advantage of not inducing severe hypoglycemia or hypokalemia, as may be observed with a high-dose insulin regimen.
Only short-acting insulin is used for correction of hyperglycemia.
Subcutaneous absorption of insulin is reduced in DKA because of dehydration; therefore, using IV or IM routes is traditionally preferable. More recently, subcutaneous use of the fast-acting insulin analog (lispro) has been tried in pediatric DKA (0.15 U/kg q2h). The results were shown to be comparable to IV insulin, but ketosis took 6 more hours to resolve. Such technically simplified methods may be cost-effective and may preclude ICU admissions in mild cases.
The initial insulin dose is a continuous IV insulin infusion using an infusion pump, if available, at a rate of 0.1 U/kg/h. A mix of 24 units of regular insulin in 60 mL of isotonic sodium chloride solution usually is infused at a rate of 15 mL/h (6 U/h) until the blood sugar drops to less than 180 mg/dL, then the rate of infusion decreases to 5-7.5 mL/h (2-3 U/h) until the ketoacidotic state abates. Larger volumes of an insulin and isotonic sodium chloride solution mixture can be used, providing that the infusion dose of insulin is similar. Larger volumes may be easier in the absence of an intravenous infusion pump (eg, 60 U of insulin in 500 mL of isotonic sodium chloride solution at a rate of 50 mL/h).
The optimal rate of glucose decline is 100 mg/dL/h.
Do not allow the blood glucose level to fall below 200 mg/dL during the first 4-5 hours of treatment.
Hypoglycemia may develop rapidly with correction of ketoacidosis.
A common mistake is to allow blood glucose to drop to hypoglycemic levels. This mistake usually results in a rebound ketosis derived by counter-regulatory hormones. Rebound ketosis requires a longer duration of treatment. The other hazard is that rapid correction of hyperglycemia and hyperosmolarity may shift water rapidly to the hyperosmolar intracellular space and may induce cerebral edema.
Electrolyte correction
Potassium
If the potassium level is greater than 6 mEq/L, do not administer potassium supplement.
If the potassium level is 4.5-6 mEq/L, administer 10 mEq/h of potassium chloride.
If the potassium level is 3-4.5 mEq/L, administer 20 mEq/h of potassium chloride.
Monitor serum potassium levels hourly, and the infusion must stop if the potassium level is greater than 5 mEq/L.
Monitoring of serum potassium must continue even after potassium infusion is stopped in the case of (expected) recurrence of hypokalemia.
In severe hypokalemia, not to starting insulin therapy is advisable unless potassium replacement is underway in order to avoid potentially serious cardiac dysrhythmia that may result from hypokalemia.
Correction of acid-base balance
Sodium bicarbonate only is infused if decompensated acidosis starts to threaten the patient's life, especially when associated with either sepsis or lactic acidosis.
If sodium bicarbonate is indicated, 100-150 mL of 1.4% concentration is infused initially. This may be repeated every half hour if necessary.
Rapid and early correction of acidosis with sodium bicarbonate may worsen hypokalemia and cause paradoxical cellular acidosis.
Treatment of concurrent infection
In the presence of infection, administer proper antibiotics guided by the results of culture and sensitivity studies.
Starting empiric antibiotics on suspicion of infection until culture results are available may be advisable.

Medication


Regular and analog human insulins are used for correction of hyperglycemia, unless bovine or pork insulin is the only available insulin. Clinical considerations in treating diabetic ketoacidosis (DKA) include the following: (1) only short-acting insulin is used for correction of hyperglycemia in DKA, (2) the optimal rate of glucose decline is 100 mg/dL/h, (3) the blood glucose level should not be allowed to fall lower than 200 mg/dL during the first 4-5 hours of treatment, and (4) avoid induction of hypoglycemia because it may develop rapidly during correction of ketoacidosis and may not provide sufficient warning time.
Hypoglycemic agents
These agents reduce plasma glucose levels.
Regular insulin (Humulin, Novolin), Ultra–short-acting insulin-analog (Humalog, NovoLog, Apidra)
Insulin suppresses hepatic glucose output and enhances glucose uptake by peripheral tissues. Insulin also suppresses ketogenesis and lipolysis, stimulates proper use of glucose by the cells, and reduces blood sugar levels.

DIABETES MELITUS


Diabetes melitus DM alias kencing manis merupakan penyakit yang terjadi akibat terganggunya proses metabolisme gula darah di dalam tubuh. Orang dengan DM akan mempunyai kadar gula yang sangat tinggi dalam darahnya setelah makan dan akan sangat anjlok bila sedang puasa. Penyebab pasti dari penyakit ini tidak diketahui dengan pasti tetapi dicurigai kegemukan atau overweight merupakan salah satu faktor pencetus dari DM. DM yang timbul akibat kegemukan ini biasanya terjadi pada usia lanjut alias umur diatas 40 tahun.
Sebenarnya untuk mengetahui atau mendiagnosa pasien DM tidaklah sulit. Pasien yang datang dengan keluhan sering kencing (polyuri), sering minum (polydipsi), sering makan (polyfagi), badan mengurus serta lemas sudah bisa kita tebak bahwa pasien tersebut menderita kencing manis. Apalagi saat kita periksa gula darah acaknya melebih 200 mg/dl maka keyakinan kita itu akan semakin menguat.
Polyuri atau sering kencing terjadi karena pada orang dengan DM akan terjadi penumpukan cairan dalam tubuhnya akibat gangguan osmolaritas darah yang mana cairan tersebut kudu dibuang melalui kencing. Karena banyak cairan yang keluar maka orang dengan DM akan merasa kehausan sehingga mereka jadi ingin sering minum. Akibat dari menurunnya kemampuan insulin mengelola kadar gula dalam darah maka sering terjadi walau kadar gulanya sedang dalam keadaan normal namun tubuh merespon lain sehingga tubuh dipaksa untuk makan untuk mencukupi kadar gula darah yang bisa direspon oleh insulin. Apabila kita terlambat makan maka tubuh akan memecah cadangan energi lain dalam tubuh seperti lemak sehingga badan menjadi tambah kurus.
Selain pemeriksaan kadar gula darah acak, perlu juga dilakukan pemeriksaan kadar gula darah puasa dan kadar gula darah 2 jam setelah makan untuk sekedar mengkonfirmasi nilai kadar gula darah acak yang telah kita dapatkan. Pada pasien DM kadar gula darah puasa lebih dari 120 mg/dl sedangkan pada kadar gula darah 2 jam setelah makan lebih dari 200 mg/dl. Pemeriksaan lain yang juga perlu adalah pemeriksaan kadar gula darah dalam urine/kencing yang hasilnya positif.
Pengobatan pada pasien DM usia lanjut atau DM tipe II biasanya dengan menggunakan obat obatan anti diabetik oral. Pengobatan ini harus diimbangi dengan diet untuk menguruskan tanpa gula (reducing diet). Sekedar diketahui dalam keadaan basal diperlukan jumlah kalori per hari sebanyak BB ideal x (25-30) kalori. Olah raga merupakan hal yang sangat dianjurkan terutama olah raga seperti aerobik (jalan/sepeda) secara teratur. Terkadang pengaturan diet dan olah raga merupakan pilihan pertama, bila kedua cara ini gagal baru diberikan obat anti diabetik oral. Yang perlu diingat, pada usia lanjut dianjurkan pemberian obat anti diabetik oral dengan kerja yang cepat sebab pada usia ini sering penderita kedapatan lupa makan, hal ini berbahaya karena bisa menyebabkan hipoglikemia bila diberikan obat anti diabetik dengan masa kerja lama.
Untuk kontrol penyakit maka perlu diperiksa secara periodik berat badan, gejala gejala diabetes yang masih dirasakan, kontrol gula darah dan pemeriksaan kadar lemak darah. Bila hal ini dilakukan dengan teratur maka komplikasi berat dari DM bisa dicegah. Pembahasan mengenai komplikasi DM kita sambung dikemudian hari.
Bersambung…